Bengkulu, Narasiberita.co.id.- Harapan akan kembali pulihnya denyut logistik di Pulau Enggano dan wilayah pesisir Bengkulu perlahan mulai terjawab.
Setelah berbulan-bulan terhambat oleh pendangkalan ekstrem, alur pelayaran Pelabuhan Pulau Baai kini sedang dikebut pengerukannya. Targetnya? Awal Juli 2025 alur pelayaran sudah bisa dibuka meskipun secara terbatas.
Kabar ini disampaikan langsung oleh General Manager PT Pelindo Regional II Bengkulu S. Joko, yang mengonfirmasi bahwa tahap pertama pengerukan hampir rampung.
“Kalau tidak ada kendala cuaca, awal Juli alur pelayaran bisa mulai dibuka meski belum optimal. Kapal kecil sudah bisa melintas. Ini langkah awal menuju normalisasi penuh,” ujar Joko.
Menurutnya, percepatan pengerukan ini merupakan implementasi dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 12 Tahun 2025 tentang Upaya Penanganan Keadaan Tertentu untuk Normalisasi Alur Pelayaran Pelabuhan Pulau Baai, yang juga mencakup penguatan transportasi dan logistik di Pulau Enggano, salah satu wilayah terluar Indonesia yang selama ini menghadapi tantangan berat dalam distribusi barang.
Pengerukan dilakukan menggunakan dua unit kapal keruk andalan, yakni BSD Costa Fortuna 5 dan AB Costa Fortuna 3. Target tahap pertama adalah mencapai kedalaman minus 4 meter dengan lebar alur antara 40 hingga 60 meter. Jika alur dinilai cukup aman, uji coba pelayaran akan segera dilakukan oleh kapal milik Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP).
Namun, Joko tak menampik bahwa tantangan masih banyak. Selain kondisi alam dan cuaca yang kerap tak menentu, persoalan teknis pun ikut mewarnai proses pengerukan.
Terutama, volume sedimentasi yang ternyata jauh lebih besar dari perkiraan awal.
“Awalnya diperkirakan hanya 900 ribu meter kubik pasir. Tapi setelah survei terbaru, jumlah sedimentasi yang menumpuk di dasar alur ternyata sudah menyentuh angka 1,112 juta meter kubik,” bebernya.
Ia menambahkan bahwa target ideal untuk operasional penuh pelabuhan, terutama agar bisa dilalui kapal-kapal besar secara optimal, adalah kedalaman 17 meter.
“Tentu masih butuh waktu dan tahapan lanjutan untuk sampai ke sana,” ucap Joko.
Sejak pendangkalan terjadi pada Maret 2025, aktivitas pelabuhan praktis terhenti. Pulau Enggano, yang sangat bergantung pada konektivitas maritim dengan Kota Bengkulu, pun terkena dampaknya secara langsung. Harga bahan pokok melambung, hasil bumi sulit dipasarkan, dan warga harus menyewa kapal nelayan dengan biaya fantastis hingga Rp 20 juta sekali jalan.
Instruksi Presiden pun menjadi angin segar. Pemerintah pusat meminta seluruh pihak terlibat untuk bergerak cepat. Mulai dari Kementerian Perhubungan, Pelindo, KSOP, hingga pemerintah daerah. Dan kini, kerja keras itu mulai menunjukkan hasil.
S. Joko menegaskan bahwa pengerukan ini bukan sekadar proyek teknis, tapi juga soal keadilan sosial dan pemulihan ekonomi. “Enggano tidak boleh dibiarkan terisolasi. Konektivitas adalah hak, bukan kemewahan,” katanya tegas.
Jika semua berjalan sesuai rencana, awal Juli menjadi titik balik: kapal kembali berlayar, barang kembali mengalir, dan harapan masyarakat Enggano untuk hidup lebih layak mulai menyala lagi.
“Ini baru awal. Tapi dari awal ini, kita ingin bangun kepercayaan bahwa negara hadir, bahwa setiap jengkal tanah di Nusantara ini tetap dijaga,” pungkas Joko. (NB)